Anak Indonesia Harus Berani dan Tidak Takut Tantangan

Anak Indonesia Harus Berani dan Tidak Takut Tantangan

30 Oktober 2024 12:26

Dalam pidato awal setelah pelantikan sebagai Presiden RI ke 8, di depan Sidang Paripurna MPR, Prabowo Subianto meminta agar bangsa Indonesia menjadi bangsa pemberani dan tidak takut tantangan.

“Saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air untuk menjadi bangsa yang berani, bangsa yang tidak takut tantangan, bangsa yang tidak takut rintangan, bangsa yang tidak takut ancaman. Sesungguhnya sejarah kita adalah sejarah dengan penuh kepahlawanan, penuh pengorbanan, dan penuh keberanian. Kemerdekaan kita bukan hadiah.” Kata Prabowo.  

Pidato ini menjadi sesuatu yang baru dan Prabowo memberikan harapan baru bagaimana bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang siap maju dan berani menghadapi tantangan. Bukan bangsa yang penakut dan tidak percaya diri seperti yang pernah diungkap oleh mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim.

 

Siswa Penakut.

Nadiem Makarim pernah melontarkan pernyataan kontroversial dengan menyatakan bahwa siswa Indonesia itu penakut dan tidak percaya diri untuk kuliah di luar negeri. Karena itu tidak banyak mahasiswa asal Indonesia yang masuk di kampus top dunia.

Menurut Nadiem, salah satu alasannya adalah banyak yang merasa takut dan tidak percaya diri untuk mendaftar kuliah atau beasiswa ke luar negeri.

"Ini alasannya kenapa pada tidak masuk sekolah top. Satu alasannya, karena banyak yang enggak berani apply," kata Nadiem di Kompas mengutip akun YouTube resmi penyanyi Putri Ariani, Jumat (22/3/2024).

Harus diakui bahwa mutu pendidikan di Indonesia masih rendah dan banyak masalah. Dan ini tentu berdampak langsung dengan daya saing lulusan yang dihasilkan. Dengan rendahnya mutu pendidikan maka rendah pula kualitas lulusan yang dihasilkan. Maka wajar saja kalau siswa kita dianggap penakut dan tidak percaya diri untuk kuliah di universitas-universitas top di luar negeri, seperti yang dialami oleh Nadiem yang lulusan Universitas Brown dan Harvard Bussiness School, keduanya di Amerika Serikat.

Nadhiem merupakan salah satu Menteri di pemerintahan Jokowo yang banyak menunai konroversi. Sejumlah kebijakan Nadiem dinilai sebagai suatu bentuk kebingungan pemerintah dalam mengelola pendidikan yang bermutu di Indonesia. Mungkin ini juga lebih disebabkan karena minimnya pengetahuan dan pengalaman Nadiem dalam bidang pendidikan.

 

Mutu Pendidikan Indonesia

Mutu lulusan Indonesia dinilai masih lebih rendah dibanding negara-negara lain, termasuk negara-negara anggota ASEAN. Berbagai masalah pendidikan masih dirasakan dan tentu berdampak langsung dengan daya saing lulusan yang dihasilkan. Dengan rendahnya mutu pendidikan maka rendah pula kualitas lulusan yang dihasilkan. Maka wajar saja kalau siswa kita dianggap penakut dan tidak percaya diri untuk memasuki dunia global yang kompetitif.

World Population Review, sebuah lembaga survey internasional menerbitkan laporan perihal indeks daya saing global. Laporan ini menampilkan tren regional dan analisis negara terpilih dari edisi 2021 Global Competitiveness Index (GCI) 4.0.

Dalam laporannya tentang peringkat daya saing Indonesia berada di posisi ke-54 di dunia, turun empat peringkat dari tahun lalu. Indonesia juga tertinggal dari tetangganya di ASEAN, di belakang Singapura (21), Malaysia (38) dan Thailand (46).

Mencermati laporan BPS (2019), Indonesia memiliki Mean Years of Schooling dengan skor 8,34 tahun. Ini berarti pelajar di Indonesia rata-rata hanya selesai sekolah sampai dengan kelas 8 di tingkat SMP. Sementara Malaysia 10,2 tahun atau kira-kira sampai kelas 10 SMA dan Singapura 11,1 tahun atau setara kelas 11 SMA. Jepang yang dianggap sebagai negara maju mempunyai MYS 12,8 tahun, yang berarti rata-rata siswa di sana adalah lulusan SMA atau mendapatkan diploma.

Hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, menempatkan Indonesia di peringkat 68 dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371).

Sejak tahun 2000, OECD secara konsisten telah mengadakan penilaian ini. Survei PISA 2022 seharusnya dilaksanakan pada 2021. Namun, ditunda karena pandemi covid-19. Penelitian ini mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam disiplin ilmu matematika, membaca, dan sains. Partisipasi PISA 2022 melibatkan sekitar 690 ribu siswa dari 81 negara, dan survei ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali.

Dengan hasil tes PISA yang rendah dan kemampuan literasi yang lemah, maka wajar kalau mutu siswa Indonesia juga rendah dan tidak kompetitif. Ini menunjukkan bahwa siswa Indonesia tidak memilik pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Makanya tidak mengherankan apabila banyak siswa Indonesia yang mengalami kesulitan untuk mendaftar di perguruan tinggi top dunia. 

 

Pembelajaran Matematika

Kita mendengar sekilas bahwa Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, akan melakukan evaluasi terhadap pembelajaran Matematika di sekolah. Matematika akan diajarkan mulai anak usia PAUD agar anak Indonesia melek literasi numerasi sejak dini.

Kebijakan ini perlu dikomunikasikan dulu ke Masyarakat agar tidak membuat bingung para guru, siswa dan orang tua. Ini menjadi persoalan yang serius mengingat ada adagium bahwa ganti Menteri akan ganti kurikulum.

Sejak Indonesia merdeka, dari 1945 sampai dengan 2023 ini, kurikulum pendidikan nasional telah berubah sebanyak 11 kali. Jadi, rata-rata hampir setiap enam tahun sekali kurikulum pendidikan nasional kita berubah.

Tidak jelas apakah seringnya pergantian kurikulum tersebut bertujuan untuk meningkatkan kompetensi anak didik dan daya saing lulusan atau hanyalah karena ego politik dari pejabat terkait.

Pendidikan kita memang harus diperbaiki agar dapat mengantar anak didik kita punya keberanian hidup dan kepercayaan diri yang tinggi untuk menghadapi tantangan masa depan.

Kalau pembelajaran Matematika dianggap penting untuk diperbaiki, kita berharap ini menjadi leverage (daya ungkit) bagi masa depan anak-anak kita yang lebih unggul dan berdaya saing.

Pendidikan harus bisa memahamkan kepada anak didik kita tentang hak dan kewajibannya sebagai warga Indonesia. Jadi, ultimate goalnya adalah untuk membentuk anak didik kita menjadi anak-anak yang berkarakter, sebagaimana ciri Pelajar Pancasila nomor 6, yaitu kreatif.

Kita bisa belajar dari pengalaman Jepang yang maju karena mempunyai kepribadian atau karakter yang sangat kuat, dan telah teruji dalam Perang Dunia, baik di Perang Dunia I maupun Perang Dunia II hingga saat ini. Tradisi belajar orang Jepang, terutama tradisi membaca pada anak-anak, termasuk yang tertinggi di belahan dunia sejak anak usia kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Sementara itu, Korea juga dianggap sebagai bangsa yang tidak malu untuk meniru hal-hal yang baik atau inovatif yang dilakukan orang Jepang. Ada semacam pameo bahwa orang Jepang itu maju karena berani meniru Amerika (what American Do, Japan Can Do).

Bagi Korea, apa yang dilakukan oleh Jepang, maka Korea juga bisa melakukannya. Rumusannya, apapun yang dilakukan oleh Jepang, maka Korea juga bisa melakukan dengan lebih baik (what Japan do, Korea can do better).

Nah, genderang sudah ditabuh oleh Presiden baru kita Prabowo Subianto agar anak didik kita menjadi pemberani dan tidak takut dengan tantangan. Karena itu kita berharap agar Mas Mu’ti sebagai Mendikdasmen yang baru ini bisa membangun suasana pendidikan yang lebih segar dan lebih aktif sehingga anak-anak kita bisa menjadi anak-anak yang berani, punya kemauan untuk maju, tidak takut tantangan dan tentunya berakhlak mulia.

 

Agus Sholeh

Pembina Yayasan Al Inayah Tangerang Selatan

Pengurus DPP GUPPI

Artikel Terkait

Komentar (0)

Komentar tidak ditemukan