Apakah Budaya Menentukan Wajah Bangsa ?
18 November 2024 14:51
“Tegak bangsa karena budaya, hilang budaya runtuhlah bangsa,” begitu salah satu pesan abadi nenek moyang. Secara kultural, kecintaan kepada budaya bangsa, membuat bangsa itu tegak dan terhormat di mata dunia.
Jepang adalah contoh paling nyata dalam merawat budaya bangsanya. Namun, dalam kasus Indonesia, kecintaan kepada budaya bangsa, justru menjadi bumerang untuk hadirnya diskriminasi dan keterpinggirian. Rasa cinta kepada budaya Islam, misalnya, selalu tumbuh menjadi spirit idealogis untuk hadirnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di negeri ini. Pada masa penjajahan, lembaga-lembaga pendidikan Islam, hadir menjadi bumerang. Karena ia tumbuh menjadi “nyala api” perlawanan yang membakar semangat jihad untuk berperang melawan penjajah.
Dewasa ini, pelan tapi pasti, tumbuh bibit-bibit cinta pada Islam, diwujudkan melalui kecintaan kepada lembaga pendidikan Islam, membuat banyak orang tua, khususnya kalangan “kelas menengah Muslim” yang tengah tumbuh (Muslim rising class), semakin berusaha mendapatkan pendidikan Islam modern, di mana peserta didik tidak hanya bergumul dengan ilmu umum untuk kehidupan dunia ini, tetapi juga bergulat dengan ilmu agama sebagai bekal hidup di akhirat nanti. Di sini, lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, diniyyah, juga ma’had aliy, STAI, STAIN, IAIN, dan UIN, semakin menjadi primadona bagi masyarakat Muslim (Azra, 2009: 9).
Karakter Bangsa
Akan tetapi, dalam saat yang bersamaan, ada fenomena baru yang menakjubkan, di mana perguruan tinggi umum unggulan seperti UGM, UI, ITB, IPB, dll., menyongsong masa depan “Indonesia baru” dengan membuka diri bersedia “menerima tanpa test” calon mahasiswa lulusan pondok pesantren dengan kualifikasi sebagai penghafal al-Qur’an.
Bahkan, calon taruna polisi dan tentara pun, mengambil posisi yang sama. Ini semua terjadi sebagai jawaban masyarakat Islam terhadap zaman yang berubah. Dunia tampaknya sedang berjalan menuju keseimbangan baru yang sejalan dengan cita-cita Islam. Sebuah perkembangan yang membesarkan hati.
Ini semua terjadi karena hakikat pendidikan adalah universal learning (pembelajaran univeral). Ia tidak mengenal batas usia, suku, etnik, agama ataupun bangsa. Sungguhpun demikian, dalam kasus Indonesia, secara historis, bagian terbesar sejarah pendidikan Islam adalah sejarah tentang keterpinggiran dan marjinalisasi. Dalam masa penjajahan Belanda, misalnya, pendidikan Islam yang terpusat pada pesantren, surau, dayah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain semacam madrasah, terutama berkembang luas sejak abad ke-19, sengaja melakukan uzlah eksistensial dari kekuasaan kolonial. Lembaga-lembaga Islam ini, melakukan uzlah sebagai bentuk “perlawanan diam” (silent opposition) terhadap diskriminasi dan tirani kolonial Belanda (Azra, 2009: 9).
Secara antropologis, tokoh yang dinamakan kyai, buya, tengku, tuan guru, enre gurutta, atau jou, adalah mereka yang ahli dalam ilmu agama, tinggal di tengah santrinya, jauh dari kepentingan ekonomi dan politik. Mereka tampil menjadi teladan dalam keikhlasan, kemandirian, kesederhanaan, kebersamaan, dan kesalehan hidup. Kyai, buya, tengku, enre gurutta, tuan guru, atau jou, adalah tempat masyarakat berkonsultasi, sejak dari memberi nama anak, memilih sekolah, sampai urusan jodoh. Gambaran kyai atau ustadz semacam ini, kini meski masih ada, tetapi tentu kian memudar, karena berbagai alasan. Sejalan dengan dinamika sosial dan manjamurnya lembaga pendidikan modern, membuat banyak pesantren, surau, dayah, atau madrasah, mengalami transformasi secara signifikan (Hidayat, 2009: 3).
Sejarah perjalanan bangsa ini mencatat dengan baik bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam telah membuktikan diri sebagai lembaga pembentuk ‘karakter bangsa’ dan pengawal kehidupan moral warganya. Maka dapatlah dimengerti ketika dalam sebuah pidatonya yang memancing simpati tokoh-tokoh Islam saat menetapkan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran di Indonesia melalui Badan Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta, pada tanggal 22 Desember 1945, Dr. Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikan Taman Siswa, memuji lembaga pendidikan Islam semacam, “Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan terbaik di Indonesia” (Shaleh, 2010: 179).
“Pondok pesantrren,” demikian Ki Hajar Dewantoro menegaskan, “adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam yang bersistem asrama (mondok) dan berbasis masyarakat yang menyelenggarakan berbagai satuan program pendidikan keagamaan dan keterampilan, jauh sebelum bangsa ini merdeka. Maka, baik pesantren maupun madrasah-madrasah yang ada, pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan untuk mencerdaskan rakyat jelata. Keberadaannnya sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, model pendidikan ini, hendaknya mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan dukungan material dari pemerintah” (Shaleh, 2010: 179).
Budaya Pesantren
Pesantren, sebagaimana diketahui, bukan satuan pendidikan melainkan sistem pembelajaran terpadu dalam memelajari ilmu keislaman (tafaquhu fiddin) serta menanamkan jiwa kepesantrenan sejati, yaitu: keikhlasan, kemandirian, kebersamaan (ukhuwah Islamiyyah), kesederhanaan, dan kebebasan. Kelima care values (nilai-nilai asasi) inilah kita sebut sebagai “budaya pesantren. Budaya pesantren, di tangan para kyai di pondok masing-masing, diformulasikan menjadi “pancajiwa pondok” (Amin, 2010).
Konstruksi nilai-nilai asasi ini sengaja dibangun sebagai ikhtiar para tokoh pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk karakter anak didik sesuai dengan core values (nilai-nilai asasi) ajaran Islam, sehingga pada gilirannya akan membentuk watak dan karakter bangsa sesuai dengan cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan sejahtera. Kelima tujuan bernegara ini dibangun di atas lima prinsip yang tertuang dalam apa yang dirumuskan Para Bapak Pendiri Bangsa, sebagai Pancasila, yakni: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Jika kelima core values dari Pancasila ini disandingkan dengan core values dari pancajiwa pondok, niscaya kita akan menemukan adanya paralelisme nilai yang termaktub di dalamnya.
Penjelasannya begini: keikhlasan adalah manivestasi dari prinsip ketuhanan; kemandirian adalah manivestasi dari prinsip kemanusiaan; kebersamaan adalah manivestasi dari prinsip kebersatuan; kesederhanaan adalah manivestasi dari prinsip kerakyatan; dan kebebasan adalah manivestasi dari prinsip keadilan. Berdasarkan kesamaan nilai-nilai asasi inilah, Islam bagi bangsa Indonesia adalah kenyataan, bukan pilihan. Islam dan negara bagaikan dua sisi dari koin yang sama: tak terpisahkan. Islam hadir sebagai “sumber nilai dan etika” paling asasi dalam penyelenggaraan negara (Madjid, 1998: 157).
Dengan mengemukakan jalan pikiran ini, maka sesungguhnya kita telah menemukan hal terpenting dari segala hal dalam kehidupan beragama dan berbangsa di negeri ini adalah: semangat, kesadaran, dan patriotisme yang sama antara prinsip-prinsip ajaran Islam yang dibangun dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam, dengan prinsip-prinsip bernegara yang dibangun dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, di Tanah Air tercinta ini.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa, “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masya- rakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu agama” (Pasal 30: 1-2).
Lebih jauh, UU ini secara jelas menegaskan bahwa, “Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” (Pasal 30 ayat 3-4, UU No. 20 Tahun 2003).
Undang-undang yang sama, merumuskan “fungsi dan tujuan” pendidikan nasionalnya, justru sejalan dengan budaya pesantren, yakni: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa; bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab” (Pasal 3, UU No. 20 Tahun 2003).
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional ini, seakan menegaskan kepada kita bahwa, “Jika ingin melihat bangsa ini di masa depan, lihatlah bagaimana bangsa itu mempersiapkan pendidikan nasional untuk masa depan generasi mudanya.” Di sinilah mengapa dunia pendidikan mengenal slogan, “Apa yang Anda inginkan dalam negara, harus Anda masukkan ke dalam sekolah.” Kelanjutan logisnya, budaya sekolah atau pesantren, cepat atau lembat, akan tumbuh menjadi budaya bangsa.
Membangun Budaya
Negara menginginkan pendidikan “karakter bangsa” masuk ke dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam. Maka keinginan negara itulah yang hendak dituangkan dalam sistem pendidikan nasional melalui pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, diniyyah, mah’had ‘aliy, STAI, STAIN, IAIN, maupun UIN. Jika semua berjalan normal, kelak melalui pendidikan Islam itu, kita akan menyaksikan sebuah bangsa yang besar dan taat secara spiritual, sekaligus kuat dan hebat secara science. Bangsa yang tidak sekedar kokoh dalam iman dan takwa, tetapi juga hebat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di saat itulah kita bisa dengan bangga mengatakan kepada dunia bahwa, “As is the state, so is the school—Sebagaimana negara, seperti itulah sekolah.” Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita juga hendak mengatakan, “Negara yang hebat dan berkarakter karena dibangun dari sistem pendidikan yang hebat dan berkarakter.” Atau sebaliknya, “Sekolah yang hebat dan berkarakter karena dilahirkan dari negara yang hebat dan berkarakter pula.”
Akhirnya, karakter sebuah bangsa, sangat ditentukan oleh bangunan karakter lembaga pendidikannya. Di sini, konstruksi “budaya pesantren” yang dibentuk oleh pengelola pesantren, akan menentukan konstruksi “budaya bangsa” di masa depan. Sebab, pondok pesantren, madrasah diniyyah, dan ma’had ‘aliy, merupakan kawah candradimuka dari mana “budaya bangsa” dipupuk dan disemai. Maka kita tidak punya pilihan lain kecuali membangun karakter bangsa melalui “budaya pesantren.”
Wallahu a’lam.
Penulis : Hasan M. Noer.
Alumni IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) GUPPI.