Mencermati Kebijakan Mendikdasmen Abadul Mu’ti
19 November 2024 09:44
Arah dan kebijakan di bidang pendidikan yang disampaikan oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti beberapa waktu lalu secara normative sangat positif. Kebijakannya logis, dan jelas, sesuai dengan kebutuhan dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam di lingkungan GUPPI saat ini.
Sebagian kebijakan itu melanjutkan kebijakan pemerintahan terdahulu yang belum tuntas, dan sebagian lain kebijakan yang relative baru. Hanya saja dari aspek implementasi tidaklah mudah ketercapaiannya. Banyak variable yang dapat mempengaruhi kebijakan tersebut bisa berjalan lancar atau tidak. Misalnya variable keuangan, dukungan stake holders, lingkungan sosial, budaya, politik dan integritas apparat para pengelola lembaga pendidikan itu sendiri.
Pada masa lalu, gagalnya implementasi kebijakan nasional pendidikan di antaranya dipengaruhi kurangnya dana, penyediaan fasilitas pembelajaran, dan tidak tuntasnya pelaksaanaan program kegiatan.
Di samping itu juga ada tantangan masalah-masalah teknis operasional penyelenggaraan program kegiatan yang kurang professional.
Secara detail gambaran 6 kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Penguatan Pendidikan Karakter.
Program ini berfokus pada pelatihan bimbingan konseling dan pendidikan nilai untuk guru, peningkatan kompetensi guru bimbingan konseling (BK) dan agama, pengangkatan guru BK, penanaman nilai-nilai karakter melalui tujuh kebiasaan positif bagi anak Indonesia, serta penyediaan makan siang bergizi di sekolah.
Kebijakan penguatan pendidikan karakter ini dapat dimaknai sebagai kebijakan prophetic, yang selaras dengan misi pendidikan Islam selama ini. Program ini membawa misi nilai-niali luhur yang diajarkan para Nabi, yang dalam ajaran Islam selaras dengan penguatan ahlaqul karimah. Kebijakan semacam ini tentu sangat mulia.
Kebijakan penguatan karakter dalam pemerintahan di Indonesia sudah berlangsung relative lama. Kebijakan ini sudah sering dilakukan oleh para Menteri Pendidikan Nasional, dan juga Menteri Agama, meskipun strategi dan penekanan pendidikan karakter tersebut berbeda-beda.
Nampaknya, secara praktis penggerak utama implementasi penguatan pendidikan karakter pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan lebih memberdayakan kepada fungsi guru Bimbingan Konseling (BK) dan Guru Pendidikan Agama (GPA). Karena tugas, fungsi dan tanggung jawab dua jenis guru tersebut sangat erat kaitannya dengan pembinaan karakter atau ahlak mulia. Karenanya, program pelatihan ataupun peningkatan kompetensi guru bimbingan konseling (BK) dan guru Pendidikan Agama (GPA), serta pengangkatan guru BK nampak akan menjadi prioritas program pemerintahan ini.
Tentu saja kebijakan penguatan pendidikan karakter dengan program-program tersebut belum bisa menjamin bahwa guru BK dan Guru Pendidikan Agama, (yang sudah dilatih dan ditingkatkan kompetensinya), mampu menguatkan karakter peserta didik secara maksimal. Hal tersebut dapat terjadi, karena di samping adanya keterbatasan waktu pembimbingan, komunikasi, interaksi antara Guru BK dan Guru Pendidikan Agama terhadap peserta didik, baik buruknya karakter peserta didik juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain juga. Budaya perilaku komunitas lingkungan sekolahnya masing-masing yang sangat bervariasi.
Selain itu karakter peserta didik juga sangat dipengaruhi budaya perilaku komunitas lingkungan keluarganya, budaya perilaku komunitas peer groupnya, dan budaya perilaku masyarakat sekitarnya. Bahkan boleh jadi, perilaku peserta didik juga dipengaruhi oleh budaya perilaku, dan kebijakan-kebijakan para pimpinan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, termasuk para politisi dan penegak hukum.
Selain itu, bahwa pengaruh kuat yang dapat membentuk baik atau buruknya karakter peserta didik yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah pengaruh berbagai budaya global di dunia maya, yang berkembang pesat melalui budaya teknologi digital.
Kedua, Program Wajib Belajar 13 Tahun dan Pemerataan Pendidikan
Program ini mendorong kesetaraan pendidikan melalui program wajib belajar 13 tahun yang mencakup berbagai inisiatif seperti rumah belajar, pendidikan jarak jauh, pendidikan anak usia dini (PAUD), serta pelibatan relawan mengajar.
Kebijakan program tersebut secara normative juga sangat baik. Program wajib belajar 13 tahun merupakan kebijakan program baru, lanjutan program wajib belajar 9 tahun yang isunya telah muncul beberapa tahun lalu. Sedangkan kebijakan program pemerataan pendidikan termasuk program klasik sejak era pemerintahan terdahulu yang belum mendapat perhatian serius dan hasilnyapun masih belum memadai.
Kebijakan pemerataan pendidikan memang relatif pelik, karena tantangan yang dihadapi sangat kompleks. Problema pemerataan pendidikan yang sejak lama muncul adalah adanya ketimpangan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Di antaranya ketimpangan pemerataan pendidikan yang berkualitas, ketimpangan penyelenggaraan pendidikan negeri dan swasta, ketimpangan penyelenggaraan pendidikan di daerah maju dan daerah tertinggal. Ketimpangan tersebut juga termasuk ketimpangan tingkat kemudahan akses pendidikan bermutu, ketimpangan jumlah dan kualitas guru, ketimpangan jumlah dan kualitas sarana, prasarana atau fasilitas pembelaran, serta ketimpangan sumber dana lembaga pendidikan.
Tentu banyak factor yang menyebabkan ketimpangan tersebut, di antaranya juga karena akibat adanya dualism atau dikotomi sistem penyelenggaraan pendidikan. Sebagian di bawah Kementerian pendidikan, yang sekarang dikelola oleh pemerintah daerah, dan sebagian lain di bawah pengelolaan Menteri agama.
Selain itu, penyelenggaraan pendidikan juga tidak berlangsung didalam satu rumah tangga, tetapi multi rumah tangga. Sebagian rumah tangga sangat kaya sumber daya dan sumber dana, sebagian yang lain kurang sumber daya manusia dan sumber dana. Karenanya, pendidikan yang dikelola oleh rumah tangga kaya seperti DKI, akan relative lebih baik sumber daya manusianya dan kesejahteraan guru dan pimpinan sekolahnya di banding dengan sekolah di daerah lain.
Ketiga, Peningkatan Kualifikasi, Kompetensi, dan Kesejahteraan Guru
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan guru hingga minimal Diploma IV atau Strata Satu (D-IV/S-1), menyediakan pelatihan kompetensi, serta meningkatkan kesejahteraan melalui program sertifikasi.
Program peningkatan kualifikasi, kompetensi dan kesejahteraan guru juga merupakan kebijakan strategis yang juga sudah dilaksanakan pemerintah sejak lama. Pentingnya program ketiga ini sangat relevan dengan kondisi para guru di lembaga pendidikan Islam swasta, seperti yang dikelola GUPPI, terutama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah.
Dapat dikatakan, bahwa kondisi guru di lembaga pendidikan Islam ini dilihat dari kualifikasi, dan kompetensi masih belum memadai. Selain itu, bahwa tingkat kesejahteraan guru umumnya juga memprihatinkan. Nampaknya kebijakan ini, selain untuk peningkatan mutu pendidikan juga untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang memang masih memprihatinkan.
Implementasi kebijakan program ini juga tidak mudah, karena pemerintah juga perlu menyiapkan dana yang besar, untuk program semacam ini.
Keempat, Penguatan Pendidikan Unggul, Literasi, Numerasi, dan Sains Teknologi
Kebijakan ini meliputi Upaya peningkatan pendidikan literasi, numerasi, dan sains teknologi sejak usia dini, pendirian sekolah unggul, serta pengembangan sekolah vokasi dan kejuruan.
Dalam konteks penguatan kualitas pendidikan, kebijakan nasional pendidikan ini juga sangat relevan dengan pendidikan Islam. Kebijakan peningkatan pendidikan literasi, numerasi dan sains teknologi yang dimulai sejak usia dini dapat dinilai sebagai kebijakan inovatif untuk mendongkrak citra pendidikan di Indonesia yang masih rendah di banding dengan banyak negara tetangga, dan negara-negara maju.
Sedangkan kebijakan pendirian sekolah unggul merupakan kebijakan untuk mendorong inovasi lembaga pendidikan secara kreatif dan mandiri juga membangun sekolah-sekolah atau madrasah unggul. Kebijakan ini akan melahirkan daya saing antar lembaga pendidikan di Indonesia untuk menjadi yang paling unggul.
Kebijakan pendirian sekolah unggul ini pada masa lalu mirip dengan pendirian sekolah internasional, yang dalam perkembangannya dinilai sebagai kebijakan yang kontroversial, dan kemudian ditutup oleh pemerintah. Aspek positifnya dapat meningkatkan daya sain lembaga pendidikan, sementara aspek negatifnya di antaranya melahirkan polarisasi peserta didik bercitra internasional dan bercitra lokal.
Sekolah Internasional identik dengan sekolah mahal dengan biaya tinggi yang hanya dimasuki oleh kelas sosial kelompok orang kaya atau kelompok orang elit. Sementra sekolah biasa identik dengan dengan sekolahnya kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah.
Adapun tentang peningkatan pengembangan pendidikan vokasi dan kejuruan, merupakan kebijakan pemerintah sebelumnya yang makin relevan dengan perkembangan kehidupan sosial, namun belum berhasil secara maksimal.
Kebijakan keempat ini akan menyerap dana besar, dan konsekuensi kontroversial mungkin saja muncul kembali, kalau tidak diantisipasi secara memadai.
Kelima, Pemenuhan dan Perbaikan Sarana dan Prasarana Pendidikan.
Fokus program ini adalah renovasi sekolah dan peningkatan fasilitas pendidikan untuk mendukung proses pembelajaran yang lebih nyaman dan efektif.
Kebijakan nasional pendidikan yang kelima ini juga sangat relevan dengan kondisi lembaga pendidikan pada umumnya, termasuk lembaga pendidikan Islam.
Dewasa ini ketimpangan pemilikan sarana dan prasarana pendidikan yang umumnya swasta sangat mencolok kalau dibandingkan dengan pendidikan negeri, meskipun tidak semua pendidikan negeri memiliki sarana memadai.
Di lingkungan pendidikan Islam juga sangat relevan karena lembaga pendidikan Islam umumnya juga miskin sarana dan fasilitas pembelajaran. Kebijakan ini juga membawa konsekuensi penyediaan dana pendidikan yang sangat besar, dan pengawasan penggunaan dana bantuan yang efektif.
Keenam, Pembangunan Bahasa dan Sastra
Mendukung pemartabatan bahasa Indonesia, perlindungan bahasa daerah, internasionalisasi bahasa Indonesia, dan peningkatan literasi di berbagai kalangan.
Kebijakan ini juga sangat strategis karena bangsa Indonesia merupakan plural society yang kaya dengan bahasa daerah. Didalam bahasa daerah tersimpan budaya-budaya kearifan local dan berbagai kekayaan nilai budaya bangsa.
Upaya untuk melakukan Internasionalisasi Bahasa Indonesia juga sangat strategis, karena bangsa Indonesia memiliki penduduk yang terbesar keempat di dunia. Kebijakan ini juga relevan dengan pendidikan Islam, karena keberadaan lembaga pendidikan Islam juga berada di berbagai daerah.
Penulis : Imam Tholkhah
Ketua Umum DPP GUPPI Periode 2020 – 2024.
Profesor Riset Kementerian Agama