Memajukan Literasi dan Publikasi di Perguruan Tinggi Pasca Permendikbud 53/2023

Memajukan Literasi dan Publikasi di Perguruan Tinggi Pasca Permendikbud 53/2023

30 September 2023 17:57

GUPPI—Jakarta (30/9/2023). Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) Kembali menyelenggarakan webinar dengan judul “Literasi, Publikasi dan Dunia Perguruan Tinggi “ merespon lahirnya peraturan Menteri Kemendikbud No. 52 tahun 2003 yang memberikan keleluasaan perguruan tinggi untuk merumuskan system jaminan mutu. Ada isu bahwa kewajiban skripsi sebagai syarat kelulusan S1 bisa dihapuskan. Hal itu memunculkan kesan bahwa Permendikbud ini terkesan mengalami setback, di tengah usaha berbagai pihak untuk meningkatkan jumlah publikasi dari perguruan tinggi baik dalam lingkup nasional maupun global.

Webinar ini menghadirkan narasumber Prof Adlin Sila, Staf Ahli Mendikbud, bidang hubungan, kelembagaan, dan Masyarakat; Dr. Hono Setiadi, Rektor Universitas Darus ulum Islamic Center/Undaris Semarang; Ibnu Salman M. Pd, Koordinator Program Pusat Riset Pendidikan BRIN. Kegiatan diikuti oleh pengurus GUPP baik pusat maupun daerah, dan peserta umum dari berbagai perwakilan Lembaga.

Muhamad Murtadlo, Ketua Dewan Pakar GUPPI, dalam kata pengantarnya menyebutkan bahwa belakangan ini ada fenomena di Tengah perkembangan media social di mana karena rendahnya literasi saintifiik, di kalangan Masyarakat terjadi debat kusir yang lebih bernuansa profokatif yang lebih banyak memecah Masyarakat daripada diskusi akademik yang dinamis dan santun. Kasus terakhir yang jadi viral adalah pendapat yang mengatakan bahwa ketersambungan silsilah para habaib di Indonesia yang dipertanyakan ketersambungan kepada Rosulullah.

Tentunya, sebagai hasil penelusuran ilmiah, adanya temuan yang berbeda dengan pendapat mainstream masyarakat adalah sah-sah saja. Perbedaan pemahaman, apalagi di wilayah sains, adalah sesuatu yang biasa di wilayah akademis. Namun usaha meyakinkan hasil penelitian kepada public tidak harus dilakukan secara profokatif di media social, apalagi muncul kesan yang sangat tendensius. Budaya akademis bukannya semakin produktif, malah terkesan debat kusir. Mestinya biarkan saja menjadi wilayah akademis yang semua pihak yang berkepentingan membuktikan secara ilmiah dan tidak menjadi debat profokatif yang mengurangi kesantunan.

Sayangnya perbedaan yang tadinya di wilayah sains, hari-hari ini sering ditarik menjadi profokasi social yang konfrontatif dan agitatif. Hal ini terjadi, justru menunjukkan budaya  literasi akademis masyarakat yang masih rendah. Karena itu, mari kita perlu berfirikir memajukan literasi sains dan publikasi di lingkungan perguruan tinggi terus maju ke depan, tidak justru kita membanting harga dengan menjauhkan perguruan tinggi dari tradisi literasi sains dan menjadikan Lembaga pendidikan tinggi hanya sekedar Lembaga sertifikasi (mengeluarkan ijazah).

Prof Adlin Sila, dalam paparannya menyebutkan bahwa adanya anggapan bahwa kemendikbud membebaskan perguruan tingggi untuk meluluskan mahasiswa tidak mesti membuat skripsi adalah pemahaman yang salah. Ada pihak-pihak yang memlintir berita seakan-akan ”skripsi dihapus”, padahal lahirnya permedikbud cenderung mendorong fleksibiltas perguruan tinggi dalam merumuskan system penjaminan mutu. Kemendikbud tetap tegak lurus untuk meningkatkan kemampuan literasi dan publikasi  di lingkungan perguruan tinggi. 

Adanya plintiran “skripsi dihapus” menunjukkan  betapa perguruan tinggi selama ini masih mengesankan bahwa penulisan skripsi itu sesuatu yang sulit dan merepotkan. Karena itu, ke depan perguruan Tinggi perlu terus mendorong literasi dan publikasi yang lebih berkualitas. Untuk usaha ini, kemendikbud mencoba membuat referensi literasi yang lebih variative, dibandingkan masa lalu yang terkesan kurang beragam.

Menyangkut publikasi, Adlin Sila, mengingatkan Kembali tugas perguruan tinggi untuk mengajari mahasiswa untuk mempunyai kemampuan menulis untuk menuliskan gagasan baru. Kalau lulusan perguruan tinggi tidak mempunyai kemampunan menulis, maka apa bedanya dengan lulusan SMA. Perguruan tinggi harus memastikan lulusannya mempunyai kemampuan menulis ilmiah. Kemendikbud mendorong diversitas inisiatif menulis di perguruan tinggi. Adlin Sila secara personal menghargai misalnya perguruan tinggi yang menggantikan posisi skripsi dengan kemampuan mahasiswa mempublikasikannya melalui jurnal. Tentu saja dengan tetap melalui mekanisme prosedur pembimbingan dosen yang mempunyai otoritas keilmuan, bukan sekedar terbit di jurnal. 

Dr Hono Setiadi, Rektor Undaris Semarang, menekankan perlunya GUPPI hadir dalam pengembangan literasi dan publikasi di perguruan Tinggi. Sedikit otokritik, dia mengajak segenap pengurus GUPPI bisa mengajak warganya untuk menguatkan literasi dan publikasi di kalangan guru-guru pada satuan pendidikan GUPPI. Guru sebagai ujung depan GUPPI perlu mendapatkan perhatian khusus. Penguatan literasi dan kecakapan menulis mereka perlu dipacu. Dia mengusulkan guru di lingkungan GUPPI perlu ditingkatkan intensitas pembinaannya. Salah satunya dengan membuat asosiasi profesi khusus untuk guru GUPPI. dia sempat menyebut Persatuan Guru Guppi (Perguppi).

Sementara itu Ibnu Salman dari BRIN mencoba mengurai pengertian literasi dari referensi publikasi global. Dia mendeskripsikan tingkat Indeks Pengembangan Literasi Masyarakat (ILPM) Indonesia berada pada angka 64,48. Angka ini masih dalam kategori rendah. Ada beberapa penyebab rendahnya angka literasi Masyarakat seperti rendahnya literasi, terbatasnya akses pendidikan berkualitas, keterbatasan Sumber daya dan Teknologi, Keragaman Bahasa dan budaya (transliterasi), ketidaksetaraan gender, perubahan budaya membaca.

Untuk penguatan literasi dan publikasi di Perguruan Tinggi, menurutnya perlu pendekatan multi arah dari pengayaan sumber informasi, tradisi sharing knowledge, diversifikasi penelitian, penelitian untuk pengembangan, pemanfaatan kemajuan tehnologi informasi. Terobosan multi approach yang perlu dibangun adalah semangat kolaborasi. Hari ini kerja sendirian sudah ketinggalan zaman, hasil kerja kolaborasi lebih dihargai, termasuk dalam penelitian dan publikasi. Semangat kolaborasi tidak saja kerjasama kelembagaaan, tapi justru semangat individual untuk membangun kolaborasi kepakaran. 

Dalam diskusi, muncul pertanyaan apa kebijakan sebagai implikasi permendikbud tidak menunjukkan kesan bahwa keadaan hari ini terkesan neoliberal. Keberhasilan pendidikan tinggi diukur dari keterserapan pasar kerja. Terhadap pertanyaaan  ini, Adlin Sila menjelaskan bahwa kemendikbud sebenarnya lebih menawarkan fleksibilitas dalam membangun kultur ilmiah. Keberhasilan belajar tidak saja diukur dari laporan skripsi atau tesis yang biasanya lebih banyak menumpuk di perpustakaan. Keberhasilan juga bisa dibangun dalam keberhasilan menembus publikasi seperti jurnal baik level nasional maupun global.

Menanggapi hal ini Imam Tholhah, Ketua Umum GUPPI, menyatakan fleksibilitas yang ditawarkan kepada perguruan tinggi bisa dianggap peluang tetapi juga tantangan. Beberapa perguruan tinggi swasta bisa bergerak lebih cepat merubah ukuran-ukuran ketuntasan belajar, beberapa perguruan tinggi sudah merubah kewajiban skripsi menjadi kewajiban publikasi. Walaupun Langkah ini juga, banyak belum bisa disikapi perguruan tinggi swasta yang lain.

Menutup webinar ini, Imam Tholkhah menyambut baik bbila di GUPPI dalam meningkatkan literasi dan kemampuan publikasi khususnya di lingkungan fungsionaris di lingkungan GUPPI, yaitu guru dan dosen dibentuk organisasi asosiasi profesi guru GUPPI (Perguppi). Menurutnya, pemahaman literasi hari ini sudah mengalami pergeseran secara cepat. Dahulu, literasi masih dipahami sekedar kemampuan membaca dan menulis, sekarang pemahaman literasi sudah sangat kompleks. Karena itu memang perlu usaha semua pihak untk mengawal anak bangsa untuk memajukan literasi yang mendorong kepakaran dan produktifitas pelaku. (Murtadlo).

 

Artikel Terkait

Komentar (1)

avatar
Hadi

30 September 2023 18:56

Mencerahkan...