Pancasila Yang Sakti: Sebuah Renungan
01 Oktober 2023 13:22
Oleh: Husen HB
Pancasila memiliki sejarah yang panjang. Dalam buku “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila” karya Yudi Latif disebutkan bahwa PANCASILA diawali fase “pembuahan” yakni sejak 1924 dimana Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah didasarkan pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, non kooperasi, dan kemandirian (self-help).
Perumusan dasar negara Indonesia merdeka—yang merupakan fase “pertumbuhan”—mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). Ada lima prinsip yang menjadi titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa itu, dalam pandangan Bung Karno meliputi: 1) Kebangsaan Indonesia, 2) internasionalisme, atau Perikemanusiaan, 3) mufakat atau demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, dan 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Kelima perinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal, dan abadi.”
Kenapa lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itulah yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai “keramat” dalam antropologi masyarakat Indonesia. Soekarno menyebutkan ,”Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita Lima setangan. Kita mempunyai Panca Indra. Pandawa lima bilangannya.” Lebih lanjut Soekarno menyebutkan bahwa dalam tradisi Jawa ada lima larangam sebagai kode etika, yang disebut istilah “Mo-Limo”.
Meskipun telah mengajukan lima sila dari dasar negara, Soekarno juga menawarkan alternatif dari lima sila itu bisa diperas menjadi Tri Sila: socio-nationaliame, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Kemudian Soekarno mewarkan lagi menjadi Eka Sila, yaitu “gotong-royong”. Artinya, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong.
Selanjutnya fase “pengesahan” Pancasila. Pada tanggal 18 Aguatus 1945, PPkI memilih Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta” sebagai Pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) di belakang sila Ketuhanan. “Tujuh kata” itu dicoret lantas diganti dengan kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga selengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi pelbagai unsur dan golongan. Karena itu, Pancasila merupakan karya bersama milik bangsa.
Hampir sudah melewati 78 tahun sejak disahkan sebagai dasar berbangsa dan bernegara, Pansacila tetap eksis dan bisa menjadi dasar dinamis yang responsif terhadap perkembangan zaman. Pengamalan nilai-nilai Pancasila hanya dapat terlaksana jika ada ketaatan dari warga negara. Pusat teladan dari ketaatan ini adalah semangat para penyelenggara negara. Apalagi untuk saat ini, tidak mudah berkesesuaian antara “kata” dan “perbuatan”, termasuk yang dirasakan oleh yang menulis catatan renungan ini. Wallahu a’lam bishawab.