KEENGGANAN DAN KEGAGALAN  (Catatan Ulang Tahun GUPPI ke-75)

KEENGGANAN DAN KEGAGALAN (Catatan Ulang Tahun GUPPI ke-75)

03 Maret 2025 22:31

Oleh : Hasan M. Noer

Tatkala di tengah-tengah khutbah Jumat di Masjid Nabawi pada bulan Ramadhan, Amirul Mukminin Umar ibnu Khattab, tiba-tiba berteriak,

“Musuh telah mengepung dari balik lembah, segera larilah kalian ke bukit menyelamatkan diri.”

Jamaah Jumat terperanjat keheranan,

“Ada apa dengan Amirul Mukminin? Mengapa tiba-tiba ia berteriak tanpa konteks?”

Sungguhpun tahu khalifah telah salah memilih konteks berkhutbah, tapi tak ada yang berani protes. Maklum, Khalifah Umar memang sangat berwibawa di hadapan umat. Jangankan manusia, setan pun harus memilih jalan lain jika beradu pandang dengan Umar ibnu Khattab di jalan yang sama.

Usai shalat, umat meminta Ali bin Abi Thalib bertanya kepada khalifah. Ali pun mengajukan bertanyaan,

“Ya Amirul Mukminin, mengapa tadi di tengah-tengah khutbah, Amirul Mukminin meneriakkan seruan yang tidak ada konteksnya dengan isi khutbah?”

Khalifah Umar tersenyum, lalu menjelaskan,

“Aku melihat pasukan Sa’ad bin Abi Waqqas dalam bahaya. Mereka dikepung pasukan Persi dari balik lembah, sehingga aku memerintahkan agar mereka segera lari ke bukit untuk menyelamatkan diri.”

Ali tertegun, diam mengiya. Ia mengagumi kemampuan eskatalogis Umar ibnu Khattab. Sebuah kemampuan yang tidak semua sahabat Rasulullah saw memilikinya.

Setelah Sa’ad dan pasukannya pulang membawa kemenangan gilang gemilang pasukan Islam atas pasukan Persi, sejarah menuturkan peristiwa ini melalui konfirmasi Ali bin Abi Thalib kepada Saad bin Abi Waqqas tentang perintah Umar ibnu Khattab itu.

“Apakah Anda mendengar seruan Khalifah di medan perang Persi untuk menyelamatkan diri ke bukit?

Sa’ad tanpa ragu secuil pun membenarkan.

“Ya, kami semua mendengar dengan jelas seruan Amirul Mukmin menggema dari balik bukit.”

Ali pun segera bertakbir, “Allahu akbar!”

 “Keengganan Mencari”

Kisah di atas menjelaskan kepada kita tentang makna “kesungguhan mencari” peran di balik setiap peristiwa dalam sejarah. Setiap pemimpin diwajibkan mencari jalan lain bila jalan di depan telah buntu. Syaratnya adalah jiwa seorang pemimpin selalu bersih dan ingat selalu dengan-Nya. Jika engkau melupakan-Ku, Aku akan membuatmu melupakan dirimu sendiri, seperti engkau melupakan Aku (Qs. 59: 19).

Siapa pun yang ingat dengan Allah dan selalu dekat dengan-Nya, maka mata Allah menjadi matanya, telinga Allah menjadi telingannya, dan mulut Allah menjadi mulutnya. Itulah sebabnya, mata Umar dapat melihat medan perang nun juah di tanah Persi, mulut Umar bisa bertuah dan didengar jernih oleh telinga pasukan Islam di medan pertempuran Persi yang ganas.

Sebaliknya, ‘keengganan mencari’ adalah jawaban atas keterpisahan jiwa dan kegelapan hati seorang pemimpin di kala berhadapan dengan Allah, Qadli Rabbul Jalil. Kelanjutan wajarnya, ia pun terpisah jiwanya dengan para sahabat, terkunci hatinya dengan lingkaran orang yang dipimpinnya.

"Maka beruntunglah orang-orang yang membersihkan jiwanya, dan merugilah orang-orang yang mengotorinya" (Qs. 91: 9-10). Iman sejati memang ada dalam tantangan. Berapa amal putih dan berapa aib hitam, akan terkuak jelas di meja Ilahi, setelah kita berpedih perih, berpeluh keringat, dan bermandikan debu di medan pertempuran.

George Santayana pernah mengingatkan, “Mereka yang tidak belajar dari sejarah ditakdirkan untuk mengulangi kesalahannya.” Karenanya, kita tidak boleh mengabaikan sejarah di kala kita merancang masa depan, agar kita tidak terjerembab ke dalam hukuman yang sama. Perspektif sejarah penting diberikan, agar kita tidak hanya melihat tokoh dalam perspektif moral hitam-putih, benar-salah, tetapi juga dalam kompleksitas zaman dengan segala kembang rumbainya.

Konon, Nelson Mandela setelah keluar dari penjara, ia mengingat para pelaku sejarah bahwa, “Pemimpin yang baik harus siap mengakui kesalahan mereka dan belajar dari kesalahan tersebut.”

Nasihat ini menunjukkan bahwa menghormati jasa seseorang dengan segala kesuksesannya, tidak berarti kita harus mengabaikan beberapa kesalahan yang dibuatnya dalam sejarah.

Membaca sejarah GUPPI, sejak kelahirannya 3 Maret 1950 hingga 3 Maret 2025, adalah membaca diri sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Semua pemimpin GUPPI, harus dinilai berdasarkan dampak kebijakannya, bukan sekadar niat baiknya. Niat baik hanya akan menjadi milik pribadinya, tetapi kebijakannya akan menjadi milik publiknya.

Prinsip ini penting untuk diingatkan agar kita tidak terjebak ke dalam glorifikasi (pemuliaan) buta. Akuntabilitas harus menjadi standar utama dalam menilai seorang pemimpin. Dan di atas semua nilai-nilai mulia itu, Bung Hatta mengingatkan, "Kritik gunanya sebagai pengasah otak. Karenanya, kritik mesti dibangun dari alasan yang kokoh. Otak yang tidak berisi tidak boleh dipenuhi dengan lidah yang lancer dan mulut yang lancing."

Di sinilah kiranya kita mendengar nasihat, “GUPPI barangkali tidak kekurangan ‘orang pintar,’ tetapi kekurangan ‘orang bekerja’.” Orang pintar bisa dibuat tetapi orang bekerja membutuhkan teladan. Prinsip ini menegaskan bahwa, “Hal terpenting dari segala hal adalah bukan mengetahui sesuatu, tetapi melaksanakan sesuatu yang diketahui.”

Karenanya, kepemimpinan bukan sekadar kecerdasan dan kekuasaan, tetapi juga tentang integritas dan pengorbanan, tentang keringat dan air mata. Karena kualitas seorang pemimpin, bukan terletak pada apa yang dikatakannya, tetapi pada apa yang dikerjakannya.

Membaca sejarah, hendaknya bersandar pada fakta, bukan pada narasi yang tersimplifikasikan. Generasi penerus GUPPI, harus berpijak pada nalar kritis, agar mereka bisa menilai sendiri tentang apa yang terjadi di masa lalu, tanpa harus dipaksa mengidolakan seorang tokoh, sembari membenci tokoh lainnya.

Kata orang, penokohan seseorang berdasarkan mitos, sering kali digunakan untuk membentuk identitas kolektif, tetapi tidak selalu berdasarkan kebenaran historis. Sejarah yang akurat dan kritis, lebih bermanfaat daripada sekadar ‘mitos heroisme’ yang memuakkan.

Pada hakikatnya, belajar sejarah, membuat kita menjadi bijak mewariskan ikhtiar dalam membangun lokus (pijakan), memilih modum (cara), dan merumuskan telos (tujuan), bukan sekadar mengumpulkan daftar pahlawan dan pecundang yang harus diidolakan dan dihujat.

Menulis sejarah, bukan untuk menghakimi masa lalu, tetapi untuk belajar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sejarah bukan untuk membenarkan, tetapi justru untuk menguji kebenaran, agar kita tidak terjerembab ke dalam petaka yang setara.

“Kegagalan Menemukan”

Pada pojok sejarah itulah, kita berdiri menatap GUPPI dengan sikap optimis. Masa lalu yang terang ataupun gelap, dipungut sebagai “cerita inspiratif” (inspiring story), pahit maupun manis, menyenangkan ataupun menyakitkan. Semuanya kita telan sebagai obat penawar lara, agar kita tidak menimbun penyakit yang sama, agar kita tidak menghukum kenyataan dengan kebencian yang impulsif.

Para bijak bestari mengingatkan, “Jangan biarkan kegagalan menemukan kenyataan hari ini, membuatmu berhenti berharap, biarkan kegagalan menjadi alasan untuk tetap tegak di atas reruntuhan.” Sebab, rasa sakit itu sementara, tapi hasil sebuah perjuangan, pasti akan abadi. Dunia hanya mengenang orang-orang yang mampu bertahan di tengah badai, bukan mereka yang lari menyelamatkan diri di tengah pertempuran.

Terkadang, bertahan adalah bentuk keberanian terbesar yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin, meski ia mengalami kegagalan menemukan apa yang dicarinya, dan mendapatkan apa diimpikan masyarakatnya. Dalam kasus GUPPI, apa yang dilakukan oleh para pemimpin terdahulu, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, patut diapresiasi.

Kemampuan bertahan mereka dalam memikul beban sejarah, adalah puncak dari kualitas seorang pemimpin di tengah prahara. Mereka sudah membayar kegagalan saat hendak memungut kejayaan, karena mereka ditakdirkan untuk mengantarkan “beban sejarah” hanya tiba di ujung terowongan, bukan “menembus batas” hingga ke gerbang istana.

Kini tiba saatnya, terbuka peluang untuk mengatur siasat, agar ikhtiar untuk membangun “serangan,” betul-betul akurat dan mampu menciptakan “gol indah” yang bisa dikenang sepanjang sejarah. Hidup bukan tentang menunggu badai berlalu, tetapi belajar menari di tengah badai. Perjalanan sejarah boleh jadi berliku, tetapi kepastian langkah untuk menempuh jalan berliku adalah soneta terindah yang akan membawa kita pada takdir terbaik yang tak pernah kita duga.

Boleh jadi, pada sisi ini pula, kita hendaknya mendengarkan seruan Bung Hatta, "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur, sulit diperbaiki."

Pada titik ini, kita ingin jujur pada kenyataan bahwa kegagalan dua periode tidak melaksanakan Muktamar GUPPI pada tahun 2016 dan tahun 2021, adalah fakta yang tak teringkari. Ini pelajaran penting yang sudah kita pungut, sambil meletakkannya dalam ingatan kolektif, agar ia tetap terngiang dalam memori kolektif itu.

Tetapi, di atas segalanya, menerima fakta—pahit ataupun manis—dengan hati lapang dan jiwa bersih, adalah kado istimewa di ulang tahun ke-75 GPPI pada 3 Maret 2025 ini. Fakta ini, sungguh “terlalu sedih untuk dikenangkan, terlalu indah untuk dilupakan.”

Wallahu a’lam.[]

 *) Hasan M. Noer;

Wakil Sekretaris Jenderal DPP GUPPI Periode 2024-2029

Artikel Terkait

Komentar (0)

Komentar tidak ditemukan